Investasi reksa dana terus mengalami pertumbuhan yang cukup menarik. Jumlah investor maupun aset industri reksa dana di Indonesia terus meningkat signifikan. Bahkan, saat ini investor dari kalangan muda semakin dominan.
Meski demikian, harus diakui masih banyak investor yang kurang paham dengan cara mengavaluasi atau mengukur kinerja investasi reksa dana yang dimilikinya. Paling-paling, banyak investor hanya melihat dari laporan kinerja berupa fund fact sheet yang disampaikan oleh manajer investasi.
Fund fact sheet adalah laporan tertulis yang dikeluarkan manajer investasi secara berkala yang berisi informasi kinerja produk, portofolio instrumen investasi dan jumlah dana kelolaannya. Biasanya, fund fact sheet diterbitkan setiap sebulan sekali atau secara mingguan.
Namun demikian, untuk membaca fund fact sheet dibutuhkan waktu luang bagi setiap investor. Apalagi bagi Anda sebagai investor pemula apakah memiliki latar belakang pengetahuan yang memadai untuk menganalisis seluruh aset portofolio dalam produk reksa dana tersebut?
Nah, untuk memudahkan para investor dalam menganalisis kinerja investasi baik tingkat imbal hasil dan risiko reksa dana, ada beberapa indikator yang bisa digunakan dengan mudah. Namun pada prinsipnya, pengukuran investasi reksa dana menggunakan dua variabel yakni risiko dan imbal hasil (return) dari reksa dana.
Caranya adalah menyesuaikan tingkat return terhadap risikonya. Istilah yang sering dipakai adalah metode risk adjusted return. Penghitungan risiko memiliki dua indikator yaitu standar deviasi dan beta.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, Anda bisa melihat ilustrasi kinerja reksa dana misalnya PNM Saham Agresif dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam periode 3 tahun berikut ini:
– Tahun 1 : kinerja return rata-rata reksa dana sebesar 15% dan IHSG sebesar 30%
– Tahun 2 : kinerja return rata-rata reksa dana sebesar 5% dan IHSG sebesar 10%
– Tahun 3 : kinerja return rata-rata reksa dana sebesar -5% dan IHSG sebesar -10%
Dengan demikian, return rata-rata reksa dana PNM Saham Agresif dalam periode 3 tahun adalah sebesar 5% yaitu dihitung dari penjumlahan nilai 15% + 5% + (-5%) = 15% lalu dibagi 3. Setelah mendapatkan nilai rata-rata return sebesar 5%, diperoleh data angka rata-rata, tertinggi dan terendahnya yaitu masing-masing 5%, 15% dan -5%.
Karena Standar deviasi merupakan penyimpangan dari nilai rata-rata, Anda bisa mendapatkan angka standar deviasi yaitu 10% (jarak dari angka rata-rata ke angka tertinggi dan dari angka rata-rata ke angka terendah). Dengan demikian, PNM Saham Agresif memiliki nilai standar deviasi sebesar 10%.
Nilai standar deviasi PNM Saham Agresif ini akan lebih bermakna bila dibandingkan dengan standar deviasi reksa dana sejenis lainnya ataupun dengan pasar (IHSG). Dengan cara yang sama di atas, diperoleh nilai standar deviasi IHSG sebesar 20%. Dengan demikian, standar deviasi reksa dana PNM Saham Agresif lebih kecil daripada IHSG sehingga reksa dana PNM Saham Agresif memiliki tingkat risiko yang lebih rendah dibandingkan risiko pasar (IHSG).
Untuk mengukur tingkat risiko lainnya, bisa digunakan indikator beta atau angka koefesian regresi. Artinya, suatu angka menunjukkan pengaruh dari suatu angka terhadap angka lainnya. Misalnya, angka kinerja IHSG akan berpengaruh terhadap angka kinerja reksa dana saham.
Namun sayangnya, penghitungan beta atau koefisien regresi ini lebih rumit karena Anda harus melakukan pembagian antara nilai covarian dengan varian. Meski demikian, tanpa harus melakukan penghitungan yang rumit, Anda juga bisa mendapatkan angka beta dari pola kinerja PNM Saham Agresif dan IHSG di atas dimana selama 3 tahun menunjukkan bahwa kinerja reksa dana PNM Saham Agresif konsisten 2 kali lipat dari kinerja IHSG baik dalam kondisi naik atau turun. Ini menunjukkan ketika kinerja IHSG naik atau turun 2% akan mempengaruhi kinerja reksa dana PNM Saham Agresif naik atau turun 1%. Dengan demikian, PNM Saham Agresif memiliki beta lebih kecil dibandingkan dengan IHSG.
Pengukuran ini menjadi penting karena tingkat risiko dalam reksa dana berpengaruh pada kualitas investasi yang dilakukan. Mengapa demikian? Ini disebabkan ibarat sebuah koin mata uang, investasi memiliki dua sisi yaitu risiko (risk) dan imbal hasil (return). Kedua sisi ini tidak bisa dipisahkan dan saling berpengaruh.
Dalam dunia investasi, kedua sisi ini memiliki korelasi positif. Bahkan dikenal prinsip yang menyebutkan higher risk higher return. Artinya, semakin tinggi risiko, maka investasi tersebut akan memiliki potensi imbal hasil yang semakin tinggi. Demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh, reksa dana pasar uang memiliki risiko yang lebih rendah, maka tingkat keuntungan (return) pun lebih rendah. Begitu pula sebaliknya, reksa dana saham cenderung memiliki imbal hasil lebih tinggi karena tingkat risikonya lebih tinggi.
Bila Anda masih penasaran, simak saja penjelasan 3 indikator berikut ini.
1. Annualized RiskAnnualized
Risk atau Risiko yang disetahunkan atau dianualisasi berarti tingkat risiko dari investasi reksa dana dalam rentang periode waktu tertentu yang disetahunkan. Ini bisa diukur dengan menggunakan standar deviasi dari hasil investasi (return). Karena itu, annualized risk dalam investasi reksa dana juga sering disebut sebagai standard deviation annualized. Standar deviasi ini mengukur sejauh mana data statistik berbeda dari rata-rata. Dengan demikian, investor dapat lebih mudah menilai risiko investasinya.
2. Annualized Return
Seperti annualized risk, di sini annualized return merupakan metode untuk mengukur tingkat imbal hasil (return) yang disetahunkan atau imbal hasil rata-rata dalam setahun dari sebuah produk reksa dana. Dengan kata lain, metode annualized return digunakan untuk mengukur imbal hasil rata-rata dari sebuah reksa dana dalam periode satu tahun.
Misalnya, reksa dana PNM Saham Agresif per 18 Agustus 2023 mencatat total return sebesar 25,03% dalam periode 3 tahun terakhir. Sehingga, tingkat return rata-rata dalam setahun produk ini mencapai 8,34%.
Untuk mendapatkan nilai return ini, Anda perlu mendapatkan data nilai aktiva bersih per unit penyertaan (NAB/UP) secara harian. Nilai NAB per UP mencerminkan suatu harga dari kinerja produk reksa dana.
3. Metode Rasio
Dari pemahaman annualized return dan annualized risk di atas, kita bisa melakukan pengukuran atau evaluasi kinerja reksa dana dengan menggunakan metode rasio. Berdasarkan literatur investasi, metode rasio yang sering dipakai adalah metode Sharpe, Treynor dan Jensen Alpha.
Pada prinsipnya ketiga metode rasio ini mengukur sejauh mana baik tidaknya kinerja portofolio reksa dana bisa menguntungkan dengan berdasarkan pada risikonya. Perbedaan ketide metode ini terletak pada cara penghitungannya.
Menurut penemunya William F Sharpe pada 1960-an, metode Sharpe Ratio ini menghitung tingkat imbal hasil dibandingkan dengan aset bebas risiko (risk free). Dalam hal ini, metode ini menggunakan standar deviasi yang menercerminkan total risiko dari sebuah portofolio reksa dana. Total risiko terdiri dari risiko sistematis atau risiko pasar dan risiko dari portofolio itu sendiri. Sementara itu, return aset bebas risiko (Risk Free) ini biasanya menggunakan tingkat suku bunga rata-rata BI Rate atau Yield Obligasi pemerintah selama periode pengukuran.
Adapun, penghitungan metode sharpe bisa dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
Indeks Sharpe = (Return Reksa Dana – Return Investasi Risk Free) : Standar Deviasi Reksa Dana
Berdasarkan rumus tersebut, ditunjukkan bahwa semakin besar standar deviasi, maka semakin besar pula risiko dari reksa dana tersebut. Selain itu, semakin tinggi nilai Sharpe Ratio, maka semakin baik kinerja reksa dana. Selanjutnya, nilai Sharpe Ratio sebuah reksa dana dibandingkan dengan reksa dana lainnya yang sejenis. Bila produk reksa dana memiliki nilai sharpe ratio lebih tinggi, maka kinerja reksa dana tersebut lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya.
Seperti Sharpe Ratio, metode Treynor Ratio menghitung kinerja reksa dana dengan membandingkan return dengan risiko sistematis (risiko pasar) saja yang tercermin dari nilai beta. Semakin tinggi nilai beta, maka semakin tinggi risikonya. Beta reksa dana dihitung dengan membandingkan kovarian return reksa dana dengan varian return bulanan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Adapun, penghitungan metode Treynor bisa dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
Indeks Treynor = (Return Reksa Dana – Return Investasi Risk Free) / Beta Reksa Dana
Metode Jensen Ratio menghitung kinerja reksa dana dengan membandingkan return yang diperoleh melebihi hasil yang diharapkan. Sehingga, metode ini juga dikenal sebagai pengukuran alpha. Dengan kata lain, metode Jensen Ratio mengukur seberapa tinggi tingkat hasil portofolio di atas rata-ratanya.
Adapun, penghitungan metode Jensen ini bisa dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
Indeks Jensen = Aktual Return Reksa Dana – [(Return Market – Return Investasi Risk Free) x (Beta + Return Investasi Risk Free)]
Dalam dunia investasi, terutama pada reksa dana, pemahaman mengenai risiko dan imbal hasil menjadi kunci bagi keberhasilan investasi Anda. Maka dari itu, dengan penjelasan indikator di atas, Anda dapat dengan mudah menganalisis dan memilih produk investasi yang sesuai dengan tujuan keuangan Anda.
Untuk memudahkan Anda dalam menemukan pilihan reksa dana Anda, yuk bergabung dengan PNM Sijago agar menjadi bagian dari komunitas Investasi Cerdas bersama PNM Sijago. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk meraih masa depan keuangan yang lebih cerah bersama PNM Sijago!